Jumat, Oktober 15, 2010

Kuli Bangunan

Banyak rumah dan gedung bermunculan di desa dan di kota.
Banyak jalan dan parit yang baru dibuat dan diperbaiki.
Dibalik itu berjejer ribuan kuli bangunan yang tak
banyak berkata.
Dengan peluh mengalir deras dari kepala sampai ke kaki

Kuli bangunan atau buruh bangunan, biasa dipanggil tukang oleh orang proyek. Jenis pekerjaan yang tidak pernah dicita-citakan anak-anak saat mereka ditanya ingin menjadi apa kalau sudah besar nanti.

Satupun proyek bangunan tak akan bisa terwujud tanpa keringat mereka. Karena kuatnya punggung mereka memanggul, kuatnya tangan mereka mengangkat barang, mencangkul dan memukul martil, kuatnya kulit mereka menahan panas, dingin dan kotor, kuatnya hidung mereka menahan bau dan debu. Lalu jadilah rumah, parit, jalan, kolam renang, apa saja yang ingin dibangun.

Saya jadi memperhatikan mereka ketika ayah saya ingin
membangun sesuatu di halaman rumah. Saat itu saya yang sedang duduk di teras melihat para tukang mengangkat batu kali maupun papan yang berat. Sebagian sedang mengaduk-aduk semen dan membawanya dalam ember. Sebagian lagi mencangkul. Semua otot mereka bekerja. Tak tuk tak tuk dug dug dug... Dan semua dilakukan di bawah terik matahari siang bolong yang saya enggani. Lalu saat saya mengunjungi proyek adik ipar saya di kawasan Pondok Terong, Depok, saya melihat seorang tukang sedang menutup saluran air di dalam parit besar yang isinya limbah rumah tangga, bahkan (maaf) kotoran manusia dan sampah yang aromanya 'semerbak' disiram hujan rintik-rintik. "Apa rasanya bediri disana jadi mereka?" pikir saya. Kalau saya yang melakukan itu semua mungkin saya bisa jatuh pingsan karena tersengat mentari atau masuk angin karena kehujanan, atau keletihan atau geli dan tak tahan bau. Namun anehnya mereka masih sempat bercanda-canda dan tertawa.

Berapa sih gaji mereka, uang yang sebanding dengan rasa sakit disengat matahari, disiram hujan, keringat deras yang membasahi baju kusam yang penuh kotoran yang tak sempat dicuci, capeknya memikul barang berat, luka karena terpukul martil atau menginjak batu kasar, rasa jijik saat air kotor yang membasahi kulit saat harus masuk ke empang jorok itu?

Mereka tampak senang sekali bila saya suguhkan kopi atau bawakan rokok. Perhatian yang kecil itu bisa membuat kerja mereka tambah semangat. Apalagi kalau dibawakan makanan. Wah, lumayan buat menghemat uang makan mereka.

Menurut beberapa sumber yang saya dapatkan, rata-rata gaji mereka sekitar Rp 70.000,- per hari. Kerja dari pagi sampai sore mengandalkan kekuatan otot dan tulang, dengan jeda makan siang sekitar satu jam. Sisanya terus bekerja fisik tanpa kenal lelah. Uang itu dipakai
untuk membeli makan pagi, siang dan malam, yang pastinya banyak untuk menggantikan energi yang dibakar selama bekerja, serta rokok mereka. Sisanya disimpan untuk anak istri.



Salut kepada para kuli bangunan...
Pahlawan pembangunan yang tak dikenal dan tanpa tanda jasa. Semangat, mas...